Oleh : Jamal Ma’mur Asmani
Jamal-makmurRamadan menjadi bulan suci yang diburu umat Islam dengan intensifikasi ibadah baik vertical maupun horizontal. Zakat sebagai salah satu rukun Islam adalah ibadah vertical yang mempunyai pengaruh besar terhadap kesejahteraan ekonomi umat. Di bulan suci ini umat Islam akan menunaikan zakat fitrah sebagai kewajiban individual dan juga zakat mal (harta) bagi mereka yang sudah memenuhi kriteria. Mengeluarkan zakat mal bertepatan bulan suci semakin melipatgandakan pahala dan sangat bermanfaat bagi fakir-miskin. Menurut Nurcholis Madjid (2000), zakat mempunyai arti nyata sebagai semacam pajak pribadi, tetapi juga mempunyai arti simbolis sebagai pernyataan niat suci kepada sesama manusia melalui kesucian pola kehidupan pribadi, khususnya berkenaan dengan harta benda yang memang sering menjadi sumber kekotoran jiwa. Dengan menunaikan zakat banyak hikmah yang didapat. Wahbah Zuhaili (2007) menjelaskan empat hikmah zakat. Pertama, menjaga harta dari unsur kejahatan. Kedua, menolong orang fakir dan mereka yang membutuhkan. Ketiga, membersihkan jiwa dari penyakit bakhil dan menanamkan sifat dermawan. Keempat, mensyukuri nikmat harta. Empat hikmah zakat ini seharusnya mendorong mereka yang wajib mengeluarkan zakat untuk tidak menunda-nunda karena dikhawatirkan terjadi malapetaka dalam hidupnya.
Hikmah zakat tersebut menjadi factor utama terjadinya transformasi sosial ekonomi secara signifikan. Menurut Kuntowijoyo (1991), makna obyektif zakat adalah kesejahteraan social, bukan sekadar pembersihan dosa dan penyucian jiwa. Makna obyektif ini menegaskan bahwa Islam berjuang untuk merealisir kesejahteraan sosial dan zakat menjadi satu satu instrumennya. Pendapat Kuntowijoyo bisa ditarik lebih dalam bahwa parameter kesuksesan zakat ditentukan oleh terciptanya kesejahteraan social, bukan sekedar memberikannya kepada fakir-miskin. Ironisnya, pemahaman mayoritas umat ini masih simbolis dan formalis. Asalkan sudah menyerahkan zakatnya, mereka sudah merasa menunaikan kewajiban tanpa berpikir lebih jauh apakah mereka yang menerima zakat (mustahiq) mampu mengembangkan diri untuk mandiri dan mengejar ketertinggalan ekonomi atau tidak. Inilah pekerjaan internal umat Islam untuk melakukan lompatan dan pencerahan pemikiran agar berpikir substantif, tidak hanya tekstual dan simbolis.
Kesejahteraan sosial yang menjadi makna obyektif zakat ditandai dengan egalitarianisme ekonomi umat, sehingga tidak ada kesenjangan antara kelas ekonomi atas, menengah, dan bawah. Egalitarianisme bisa lahir dari kedermawanan kaum ekonomi atas dan menengah dalam memberdayakan kelas bawah dalam bidang ekonomi, melalui pelatihan, pemberian modal, dan monitoring program secara gradual dan konsisten. Mereka diberi pelatihan intensif sehingga terbuka pemikirannya, progresif visinya, dan mempunyai keberanian memulai usaha. Program ini akan merekatkan solidaritas antara kaum kaya dan kaum miskin.
Dalam konteks inilah zakat produktif menjadi relevan dikembangkan. Zakat produktif mempunyai legalitas formal dan rasionalitas substansi. Berbeda dengan zakat konsumtif yang hanya berpijak pada legalitas formal, tapi melenceng dari rasionalitas substansi, karena hilangnya agenda transformasi ekonomi kerakyatan yang dicita-citakan Islam. Memberi kail jauh lebih bermanfaat dari pada ikan. Namun dalam konteks spesifik, memberi dua-duanya juga penting. Zakat produktif bertujuan memberikan kail dan ikan sekaligus.
Disini kita layak mengapresiasi kerja intelektual dan sosial KH. MA. Sahal Mahfudh yang menjadikan zakat sebagai instrument efektif pemberdayaan ekonomi kerakyatan dengan pendekatan kebutuhan pokok (basic need approach). Sebagaimana dikutip Sumanto al-Qurtuby (1999), Kiai Sahal melibatkan tenaga ahli dan kaum professional dalam mendayagunakan zakat. Mereka tidak sekedar memberikan modal kepada kaum miskin, tetapi juga ketrampilan dan motivasi. Pemberian motivasi itu dalam rangka menumbuhkan kemauan usaha, tidak sekedar menunggu uluran tangan orang kaya. Zakat produktif ini membutuhkan akuntabilitas tinggi untuk menjaga kepercayaan publik dan memastikan bahwa zakat sudah disalurkan sesuai aturan agama. Amil zakat yang bertugas mendata, mengumpulkan dan membagi zakat merupakan orang-orang yang cukup intelektualitas dan moralitasnya. Menurut Kiai Sahal (1994), pengelolaan zakat secara professional memerlukan tenaga yang terampil, menguasai masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat, penuh dedikasi, jujur, dan amanah. Manajemen yang transparan dan akuntabel menjadi modal penting dalam mendayagunakan potensi zakat sesuai dengan tujuan mulia, mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan ekonomi umat.
Namun sayang, masih sedikit lembaga yang berani mempraktekkannya karena takut menyimpang dan ancaman siksa neraka. Aura teologis dalam bingkai tekstualisme menyebabkan pola pikir umat stagnan, eternal, dan final tanpa memikirkan kompleksitas persoalan akar rumput yang membutuhkan solusi cerdas, aplikatif dan efektif. Pemikiran dan langkah progresif Kiai Sahal yang mempunyai legitimasi kuat dalam bidang fikih (hukum Islam) sudah seyogianya menjadi pelajaran kita semua, bahwa zakat harus didayagunakan untuk mengentaskan kemiskinan.
Ingkar Zakat
Indahnya ajaran zakat yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan social dalam realisasinya menemui banyak kendala. Salah satunya adalah masih rendahnya kesadaran mayoritas umat Islam, khususnya zakat mal. Zakat mal identik dengan orang-orang kaya yang mempunyai pekerjaan dan sumber pendapatan di atas kebutuhan hidup. Pedagang, pejabat, dan kaum professional termasuk dalam kelompok ini. Mereka berdalih bahwa Indonesia bukan Negara Islam, sehingga tidak berhak mengelola zakat. Alasan ini tidak argumentative, karena zakat adalah perintah agama yang tidak terait dengan Negara. Walaupun demikian, Negara sudah memfasilitasi undang-undang tentang zakat ini. Dalam realitas empirisnya selain pemerintah, banyak sekali organisasi keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah yang siap menerima dan menyalurkan dana zakat. Juga ada kalangan swasta seperti Dompet Dhuafa Republika, Al-Falah, dan lain-lain yang mempunyai komitmen kuat dalam pengelolaan zakat, infak dan sedekah. Selain itu, zakat juga bisa dibagikan pemiliknya langsung kepada mereka yang berhak menerimanya. Ada juga yang beralasan banyak hutang, sementara hutang jika tidak menghabiskan harta seseorang (mustaghriq) tidak bisa menjadi alasan gugurnya zakat (Bughyatul Mustarsyidin : 99).
Orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat dengan berbagai alasan pantas disebut orang kafir dalam pengertian kafir nikmat, karena tidak bersyukur dengan nikmat yang telah diberikan Allah dengan membiarkan orang-orang fakir-miskin hidup dalam kesusahan dan kesempitan. Orang-orang seperti ini diancam siksa pedih sebagaimana firman Allah QS. Ibrahim 14:7 “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka ssungguhnya azab-Ku sangat pedih”. Orang semacam ini juga bisa dikatakan pendusta agama karena membiarkan orang fakir-miskin kelaparan, sedangkan ia mampu membantunya sebagaimana keterangan dalam Q.S. al-Ma’un 1-3.
Menjadi tugas semua pihak, khususnya kaum agamawan, organisasi sosial keagamaan, dan pemerintah untuk lebih giat melakukan sosialisasi zakat dengan pendekatan yang efektif. Diharapkan dengan langkah ini, kesadaran publik untuk menunaikan kewajiban zakat semakin meningkat dan akhirnya kesejahteraan social tidak menjadi mimpi di siang bolong.
Kaprodi Zawa STAIMAFA, Tulisan Pernah dimuat di Suara Merdeka, tahun 2010
Share To:
Next
Newer Post
Previous
This is the last post.

Post A Comment:

0 comments so far,add yours