Tanya:
Bolehkah mewakafkan uang tabungan atas nama anak saya yang sudah meninggal? Apakah pahalanya bisa menjadi kekayaan di akhirat bagi anak saya yang sudah meninggal? (Abi Zulfa, Kudus)
Jawab:
Wakaf adalah menahan harta yang bisa dimanfaatkan dalam kondisi permanen yang dikelola kemanfaatannya untuk kebaikan, dan dilarang menggunakan barangnya dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah.
Wakaf hukumnya sunah. Nabi Muhammad bersabda,’’ jika seorang hamba meninggal maka terputus amalnya kecuali tiga perkara, yakni sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya (HR Muslim).
Para ulama memahami sedekah jariyah dengan wakaf. Para sahabat Nabi yang punya kemampuan, pasti wakaf. Salah satu syarat wakaf adalah bisa dimanfaatkan, tetapi barangnya tetap, tidak berkurang atau habis.
Oleh karena itu, kepemilikan harta wakaf (mauquf) beralih kepada Allah, sudah tidak lagi menjadi milik manusia, baik orang yang mewakafkan (waqif) dan orang yang menerima wakaf (mauquf alaih). Menurut mayoritas ulama (mazhab Maliki, Syafii, Hambali, dan sebagian Hanafi), wakaf uang hukumnya tidak sah karena tidak memenuhi syaratsyarat wakaf.
Tapi sebagian mazhab Hanafi dan Maliki memperbolehkan zakat dinar, dirham, dan sesuatu yang bisa ditakar dan ditimbang. Bagaimana caranya? Dirham dan dinar diutangkan kepada fakirmiskin lalu diambil lagi atau diberikan dengan akad mudharabah (bagi hasil) dengan menyedekahkan keuntungannya.
Meskipun terjadi perbedaan pendapat antarmazhab, Undang-Undang No 41/2004 tentang wakaf memperbolehkan wakaf uang. Pasal 16 menyebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak.
Benda tidak bergerak meliputi: hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah, tanaman dan benda lain yang berkait tanah, dan hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Adapun benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan, yaitu harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, dan benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan perundang-undangan.
Dalam konteks pahala wakaf ini sangat tergantung kepada pemanfaatan harta wakaf. Jika harta wakaf bisa dimanfaatkan secara optimal maka pahala yang mengalir kepada anak yang dituju sangat besar. Dalam hal ini dibutuhkan pengelola wakaf yang amanah dan profesional.
Tugas utamanya adalah memakmurkan wakaf, misalnya dengan cara menyewakan harta wakaf, mendapatkan keuntungan, dan membaginya untuk kemaslahatan waqaf. Nadhir juga berhak mendapatkan gaji (ujrah) sesuai profesinya (Syekh Nawawi al-Dimasyqi, Minhajut Thalibin wa Umdatul Muftin, 2010:184).
Dalam UU 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disebut bahwa nazhir meliputi perseorangan, organisasi, dan badan hukum.
Nazhir perseorangan sebagaimana harus memenuhi persyaratan: WNI, beragama Islam, dewasa, amanah, mampu secara jasmani dan rohani, dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
Dalam melaksanakan tugas, pengelola dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak melebihi 10 persen(H15-10)
Sumber: Suara Merdeka
Share To:

Post A Comment:

0 comments so far,add yours