Oase - Oleh Jamal Ma’mur Asmani
ISLAM akan menjulang tinggi ke angkasa sebagai agama yang membawa kemajuan Islam dan umatnya ('izzul Islam wa al muslimin) jika semua pilar-pilar utamanya berdiri tegak dengan kokoh.
Jika ada salah satu pilar roboh atau keropos maka sinyal kelemahan Islam akan terlihat. Menjadi kewajiban seluruh umat Islam untuk menegakkannya kembali. Selama ini, pilar-pilar utama Islam sudah berdiri kokoh, seperti syahadat (persaksian), shalat, puasa, dan berhaji.
Hanya soal zakat yang sangat mengkhawatirkan dan terancam roboh. Jika seluruh elemen Islam tidak bahu- membahu menggerakkan kesadaran zakat maka salah pilar utama Islam akan roboh atau keropos. Tanda-tanda kelemahan zakat di Indonesia dapat dilihat dari beberapa indikator. Pertama, potensi zakat yang sangat besar belum terserap secara optimal, bahkan jauh di bawah standar.
Potensi zakat secara nasional per tahun Rp 217 triliun, sedangkan yang tergali baru sekitar Rp 4,5 triliun. Potensi zakat di Jawa Tengah per tahun sekitar Rp 17 triliun, sedangkan yang tergali baru sekitar Rp 1 triliun.
Belum Banyak
Khusus di Pati, potensi zakat per tahun sekitar Rp 20 miliar, sedangkan yang tergali baru Rp 3 miliar. Hal ini tentu berbeda dari ibadah haji yang harus menunggu sampai berpuluh-puluh tahun karena banyaknya muslim yang antusias mendaftar haji dengan modal yang besar.
Kedua, belum banyak lembaga zakat yang dikelola secara profesional. Di antara sedikit lembaga profesional dalam manajemen zakat adalah Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dari pusat sampai daerah (kabupaten), Rumah Zakat Bandung, Dompet Dhuafa Jakarta, Inisiatif Zakat Indonesia (IZI) Jakarta, dan Dompet Peduli Umat Bandung.
Mayoritas lembaga-lembaga zakat, khususnya yang ada di daerah, dikelola secara sporadis, temporer, dan instan tanpa visi jauh ke depan. Ketiga, kemelemahan kesadaran umat Islam untuk menyalurkan zakat karena kikir (bakhil) atau kemelemahan umat Islam menyalurkan zakat di lembaga amil zakat.
Banyak umat Islam yang menyalurkan zakat secara langsung tanpa lembaga amil zakat, sehingga dampak sosialnya tidak masif dan signifikan. Dalam kitab Ihyaí Ulumiddin dan Anwarul Masalik dijelaskan, jika dalam pembagian zakat tidak bisa merata kecuali dengan kolektif maka wajib hukumnya menyalurkan zakat secara kolektif supaya merata.
Dalam bahasa lain, jika distribusi zakat dilakukan secara kolektif maka dampaknya sangat besar, yaitu mampu mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan dan kemajuan masyarakat dan bangsa. Dalam konteks ini maka tidak ada jalan lain untuk menegakkan zakat sebagai pilar utama Islam di bidang ekonomi dan sosial, kecuali melakukan langkah-langkah intens untuk mengatasi tiga kelemahan itu.
Pertama, dibutuhkan amil-amil zakat yang jujur, akuntabel, komunikatif dan interaktif, serta profesional- visioner. Amil zakat harus mempunyai moralitas, kapabilitas, dan militansi yang tinggi dalam menggerakkan potensi zakat. Kedua, sinergi antarlembaga zakat untuk saling belajar dan bekerja sama dengan menghilangkan ego lembaga dan sinergi dengan lembaga lain, khususnya pemerintah, dunia usaha, dan media.
Ketiga, dukungan penuh tokoh agama, seperti tokoh organisasi masyarakat (ormas) semisal Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, kiai pesantren, mubalig (penceramah), dan lain-lain. (H15-10)
(Penulis adalah Ketua Program Studi Manajemen Zakat dan Wakaf Institut Pesantren Mathaliíul Falah Pati)
Sumber: Suara Merdeka, 29 April 2016
Share To:

Post A Comment:

0 comments so far,add yours