Zakat adalah salah rukun Islam yang wajib dipenuhi oleh semua muslim. Zakat dalam pelaksanaannya harus ditetapkan dan diatur oleh agama dan negara. Prinsip zakat meliputi dasar-dasar yang sangat luas yakni zakat adalah kewajiban untuk melaksanakan tugas ekonomi (menghindarkan penumpukan kekayaan pada sekelompok kecil orang kaya), sosial (zakat memungkinkan pelaksanaan tanggung jawab orang-orang kaya untuk membantuk para mustahiq memenuhi kebutuhan mereka) dan tanggung jawab moral (zakat mensucikan harta yang dimilki agar hartanya diridhai oleh Allah SWT).

Zakat merupakan salah satu sumber keuangan yang penting bagi negara pada masa awal Islam, Karena sifatanya yang sangat erat dengan kekuatan negara pada masa itu dan menjadi instrumen kebijakan fiskal yang sangat penting di zaman Nabi. Zakat sangat berpotensi menghilangkan konsentrasi kekayaan dikalangan elit ekonomi tertentu. selain itu juga berpotensi meningkatkan produktivitas masyarakat miskin melalui pembinaan dan bantuan modal usaha. Di indonesia sekarang ini memakai UU No. 38 Tahun 2011 dalam pengelolaan dana zakat yang sebelumnya memakai UU No. 23 Tahun 1999. Pendapatan dan pengeluaran dalam ranah ekonomi Islam salah satunya diatur melalui mekanisme zakat.

Pembaharuan zakat menjadi penting untuk dilakukan, karena selama ini sebagian besar umat masih memandang zakat sebagai ibadah yang terlepas kaitannya dengan persoalan ekonomi dan sosial, maka saat ini zakat harus dipandang sebagai sumber kekuatan ekonomi umat yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan berbagai permasalah sosial umat Islam. Dalam praktiknya zakat masih kurang menyentuh masyarakat, tidak tepat pada sasarannya. Sebagi upaya muwujudkan produktifitas dalam pengelolaan dana zakat, dana hasil zakat dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin masyarakat. Esensi dari zakat sendiri adalah selain untuk memenuhi kebutuhan konsumtifnya juga memenuhi segala kebutuhan hidupnya termasuk pendidikan, tempat tinggal dan sandang mereka. Dari sinilah pola pemberian zakat kepada para mustahiq tidak hanya bersifat konsumtif saja, namun dapat pula bersifat produktif.                    pendayagunaan zakat secara produktif yang pemahamannya lebih kepada bagaimana cara atau metode menyampaikan dana zakat kepada sasaran dalam pengertian yang luas, sesuai dengan tujuan syara’. Cara pemberian yang tetapt guna efektif manfaatnya dengan sistem yang serbaguna dan produktif, sesuai dengan pesan syariat dan peran serta fungsi sosial ekonomis dari zakat. Dalil haditsnya yang diriwayatkan oleh Muslim yaitu ketika Rasulullah memberikan uang zakat kepada Umar bin Al-Khatab yang bertindak sebagai amil zakat seraya bersabda : خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ, أَوْ تَصَدَّقْ بِهِ, وَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا اَلْمَالِ, وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ, وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَك.) رَوَاهُ مُسْلِمٌ( Artiny: Ambilah dahulu, setelah itu milikilah (berdayakanlah) dan sedekahkan kepada orang lain dan apa yang datang kepadamu dari harta semacam ini sedang engkau tidak membutuhkannya dan bukan engkau minta, maka ambilah. Dan mana-mana yang tidak demikian maka janganlah engkau turutkan nafsumu. HR Muslim.                       Yusuf Qardhawi juga berpendapat, zakat merupakan ibadah maaliyah ijtimaiyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis, dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun sisi pembangunan dan kesejahteraan ummat apabila dilakukan secara optimal. Kelebihan dari zakat produktif akan berdampak positif secara nyata dalam menciptakan kesenjangan hidup masyarakat yang sejahtera yang mampu hidup lebih baik lagi dan bahkan akan lebih mandiri, sehingga ia tidak butuh lagi menerima zakat. Karena telah mampu bangun dari kemiskinan menuju kaya dan sejahtera. Zakat produksi ini sangat urgen dalam membangun masyarakat produktif dan inovatif dalam membangun bersama perekonomian bangsa sejahtera.                  Dalam fatwa dapat menjawab pertanyaan yang sering bermunculan di tengah-tengah masyarakat terkait pemanfaatan zakat. Salah satunya ialah penggunaan dana zakat di sektor produktif. Sesuai dengan fatwa MUI, dana zakat yang diberikan kepada fakir miskin dapat bersifat produktif. Di bagian fatwa lainnya, salah satu bentuk zakat produktif itu ialah yang diinvestasikan. Hukum menginvestasikan dana zakat diperbolehkan dengan beberapa catatan. Syaratnya, investasi dana zakat disalurkan pada usaha yang dihalalkan syariat dan peraturan yang berlaku, usaha itu di yakini memberi keuntungan berdasarkan studi kelaikan, pembinaan dan pengawasan oleh pihak berkompeten termasuk lembaga yang mengelola dana investasi itu. Juga tidak terdapat fakir miskin yang kelaparan dan memerlukan biaya serta tak bisa ditunda saat zakat diinvestasikan.                  Skala prioritas haruslah menjadi perhatian amil zakat, jika dana yang terkumpul hanya sedikit maka prioritas utama adalah mustahiq yang sangat membutuhkan terutama dalam bentuk zakat konsumsi, sedangkan jika dana yang terkumpul lebih dari cukup maka dapat digunakan untuk seluruh asnaf atau untuk investasi produktif yang melibatkan kelompok fakir miskin serta hasilnya dapat mereka manfaatkan, selain itu juga dapat dipergunakan untuk program pengentasan kemiskinan dengan menyalurkan zakat untuk usaha produktif baik dalam bentuk modal usaha, alat-alat usaha, pelatihan keterampilan, bimbingan usaha dan lain-lain. Dalam rangka meningkatkan pendayagunaan zakat bagian fakir dan miskin itu lebih tepat kalau ditempuh lewat jalur pemberian zakat dalam bentuk produktif. Yang menjadi salah satu metode zakat adalah tasarruf atau distribusi zakat dengan mengambil manfaatnya dengan memakai skim qardul hasan.                  Hal yang menjadi kendala optimalisasi fungsi zakat di Indonesia seperti kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik dalam menerapkan zakat di tengah-tengah masyarakat termasuk sikap tradisional dalam mengeluarkan zakat, sumber zakat dan pendayagunaan zakat. Orientasi pengelolaan zakat produktif harus dipahami bersama-sama secata menyeluruh oleh semua maayarakat (muzaki, amil dam mustahiq. Memahami tujuan dari pengelolaan zakat produktif yaitu untuk kesejahteraan masyarakat, seperti yang disebutkan dalam UU No. 23 Tahun 2011 bahwa pengelolaan zakat bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.                  Kita harus merubah paradigma distribusi zakat dari konsumtif oriented kepada produktif oriented, agar kemiskinan lebih efektif bisa diberantas. Bila kebiasaan konsumtif  di atas berlanjut, niscaya zakat dan sedekah tak banyak pengaruhnya mengentaskan kemiskinan. Sedekah untuk konsumtif memang mulia. Hanya, jauh lebih mulia jika sedekah pun dijadikan modal untuk mengubah dhuafa. Kini saatnya kita  mengubah paradigma berzakat. Memaksa bekerja lebih mulia ketimbang santunan. Untuk melakukan ini, maka berzakat sebaiknya diserahkan kepada lembaga amil zakat yang amanah dan terpercaya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hikmatul-hidayati-mz/fenomena-zakat-produktif-di-indonesia_558f1a0d789373d80906c0f6
Share To:

Post A Comment:

2 comments so far,Add yours

  1. Begitulah sebenarnya efek positif zakat, tapi sulit menerapkannya?

    ReplyDelete
  2. Judaism, Christianity, and Islam are "monotheistic kin" in that they share a faith in one God and a typical family. Father Abraham had two children: Ishmael, child of Sarah's house keeper Hagar, was the firstborn yet Isaac, child of Sarah in her mature age, before long replaced Ishmael in their dad's kindness.
    Virtues of Itikaaf

    ReplyDelete